Setiap pagi, sebelum matahari terbit, langkah kaki seorang pria tua menyusuri trotoar di kawasan Sudirman, Jakarta. Dengan seragam oranye lusuh dan sapu lidi di tangan, ia menyapu jalanan yang dipenuhi dedaunan dan sampah sisa malam. Namanya Harun. Orang-orang memanggilnya “Pak Harun Si Tukang Sapu”.

Ia bukan siapa-siapa dalam pandangan masyarakat kota besar. mg4d Hanya sosok tua yang menyapu jalan. Tapi siapa sangka, dalam diamnya, ia menyimpan kisah yang kelak membuat jutaan orang terdiam dan terinspirasi.

Mengharukan: Seorang Ayah yang Kehilangan Segalanya

Dua puluh tahun lalu, Pak Harun adalah guru matematika di sebuah SMP negeri di Cirebon. Ia dikenal sebagai guru yang sabar dan berdedikasi. Hidupnya sederhana, tapi bahagia bersama istri dan dua anaknya.

Namun, musibah datang bertubi-tubi. Istrinya meninggal dunia karena kanker. Setahun kemudian, anak sulungnya meninggal dalam kecelakaan bus pariwisata. Hancur rasanya dunia Pak Harun.

Tak lama setelah itu, ia mengalami serangan stroke ringan. Tubuhnya mulai melemah. Ia terpaksa berhenti mengajar karena kondisi kesehatannya, dan keuangan keluarga ambruk. Rumah dijual, harta habis, dan satu-satunya yang tersisa hanyalah dirinya dan anak bungsunya, Rani, yang saat itu baru duduk di kelas 4 SD.

Mereka pindah ke Jakarta untuk mencari kehidupan baru. Dan di situlah, Pak Harun menjadi tukang sapu jalanan. Ia tak malu. Ia bilang, “Selama pekerjaan itu halal, tidak ada yang hina.”

Menggugah: Di Tengah Debu dan Peluh, Ia Menanam Impian

Meski penghasilannya sangat pas-pasan, Pak Harun tetap menyekolahkan Rani. Ia tak ingin pendidikan anaknya terputus seperti dirinya. Setiap malam, setelah pulang kerja, ia membantu Rani belajar. Ia masih mengajar — bukan di kelas, tapi di ruang kecil sempit dengan cahaya temaram.

“Rani harus lebih tinggi dari Bapak,” katanya. “Jangan pernah berhenti belajar.”

Ia menyisihkan uang dari makan siangnya untuk membeli buku bekas di loakan. Rani pun tumbuh menjadi gadis cerdas dan penuh semangat. Ia tahu perjuangan ayahnya bukan main-main. Ia tak ingin mengecewakan.

Saat Rani masuk SMA, ia menang olimpiade matematika tingkat provinsi. Ketika itu, media lokal meliput dan menuliskan latar belakangnya. “Anak Tukang Sapu yang Jadi Juara” — begitu judulnya.

Berita itu viral, dan banyak yang menawarkan beasiswa. Namun Rani hanya menerima satu: dari kampus negeri favorit yang sejak dulu ia impikan, Universitas Indonesia.

Pak Harun hanya menunduk dan menangis saat mendengar kabar itu. “Tuhan tidak tidur,” bisiknya pelan.

Menginspirasi: Rani Membawa Nama Ayahnya Hingga ke Istana

Selama kuliah, Rani terus berprestasi. Ia aktif dalam organisasi, riset, dan menjadi mahasiswa teladan. Namun satu hal yang selalu ia pegang: jangan pernah lupa dari mana kamu berasal.

Pada tahun terakhir kuliah, ia menulis tesis tentang “Peran Pekerja Marginal dalam Pendidikan Anak”. Di bagian pengantar, ia menuliskan:

“Tesis ini saya persembahkan untuk ayah saya, Harun, tukang sapu jalanan, guru sejati dalam hidup saya.”

Tesis itu menarik perhatian banyak pihak. Rani diundang ke berbagai forum nasional. Bahkan, ia menerima undangan untuk menjadi pembicara di acara Hari Pendidikan Nasional di Istana Negara.

Di hadapan Presiden, Menteri Pendidikan, dan tokoh-tokoh besar, Rani berdiri tegak. Dengan suara tegas, ia berkata:

“Jika hari ini saya bisa berbicara di sini, itu bukan karena saya hebat. Tapi karena ada seorang ayah yang menyapu jalanan Jakarta agar anaknya bisa menapaki tangga pendidikan.”

Seluruh ruangan sunyi. Presiden menitikkan air mata. Ia turun dari kursinya, memeluk Rani, dan berkata, “Kami ingin bertemu ayahmu.”

Menghebohkan: Seorang Tukang Sapu Menerima Penghargaan dari Presiden

Beberapa minggu setelah acara itu, Istana Negara mengundang Pak Harun untuk menerima penghargaan khusus sebagai “Orang Tua Inspiratif Nasional.” Media-media besar memberitakannya. Video Rani dan ayahnya saat menerima penghargaan viral di seluruh negeri.

“Dulu saya menyapu jalan agar anak saya bisa sekolah. Sekarang saya berdiri di Istana karena anak saya membuat saya percaya, bahwa hidup tidak pernah sia-sia,” ujar Pak Harun di podium. Suaranya pelan, tapi menghujam ke ribuan hati.

Banyak orang yang tadinya memandang remeh pekerjaan tukang sapu kini berubah pandangan. Pak Harun membuktikan, bahwa nilai seseorang bukan diukur dari pekerjaannya, tapi dari ketulusan dan keberanian untuk mencintai.

Akhir yang Menyentuh: Cinta yang Tak Pernah Luntur

Kini, Rani bekerja sebagai dosen dan aktivis pendidikan anak marjinal. Ia membangun rumah belajar gratis di daerah tempat ayahnya dulu menyapu jalan. Rumah itu dinamakan “Rumah Harun” — tempat di mana anak-anak jalanan belajar membaca, menulis, dan bermimpi.

Pak Harun tetap sederhana. Ia menolak pindah ke rumah mewah yang ditawarkan banyak pihak. Ia memilih tinggal di kontrakan kecil bersama dua ekor kucing kesayangannya.

Setiap pagi, ia masih menyapu halaman rumah belajar. Bukan karena harus, tapi karena rindu. Rindu pada masa-masa berat yang kini terasa manis.

Penutup

Kisah Pak Harun bukan kisah dongeng. Ia nyata, hidup, dan menyentuh. Ia mengajarkan bahwa di balik pekerjaan yang dianggap sepele, bisa tersimpan kekuatan yang mengubah dunia.

Dalam dunia yang kerap menilai seseorang dari penampilan dan status, kisah ini hadir sebagai tamparan lembut: bahwa ketulusan, kerja keras, dan cinta tak bersyarat jauh lebih berharga dari apapun.

Pak Harun tidak pernah ingin terkenal. Ia hanya ingin anaknya bahagia. Tapi dari cinta yang sederhana itu, ia membungkam dunia. Ia membuktikan, bahwa bahkan seorang tukang sapu bisa berdiri di Istana Negara — bukan karena kekuasaan, tapi karena kasih sayang dan pengorbanan.